Kalangan pengusaha dan ekonom meminta pemerintah maupun otoritas moneter segera menyelamatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah terus melemah hingga tertekan di level atas Rp 16.400/US$.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,12% di level Rp16.445/US$ pada Jumat (21/6/2024). Bahkan di tengah perdagangan, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.475/US$, kondisi terparah sejak pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 atau sekitar empat tahun silam.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menekankan, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus memastikan kurs rupiah jangan sampai tembus ke level psikologis Rp 16.500/US$. Sebab, bila itu terjadi, dia khawatir rupiah akan terus mengakumulasi sentimen negatif pelaku pasar keuangan, sehingga sulit dijinakkan dan merosot sampai Rp 17.000/US$.
“Jadi, ya harapannya sih Rp 16.500 ini udah tertinggi ya, enggak sampai Rp 17.000,” tutur Telisa kepada CNBC Indonesia, Senin (24/6/2024).
BACA JUGA : Memahami Organisme Bakteri yang Menyebabkan Ketakutan di Jepang: 977 Orang Terinfeksi dengan 77 Meninggal
Menurut Telisa, rupiah harus segera dijinakkan karena bahan baku Industri di Indonesia mayoritas impor, ditambah dengan barang konsumsi pokok masyarakat yang juga banyak dipenuhi dari impor. Kondisi itu akan membuat barang-barang impor yang naik akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ujungnya, harga jual di dalam negeri naik.
“Inflasi akan naik, nih. Makanan minuman saja, misalkan, industri makanan minuman itu kan banyak masih impor, ya. Gulanya impor, gandumnya impor, misalkan, itu kan bisa mempengaruhi harga kebutuhan pokok,” tegasnya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid mengatakan terus melemahnya nilai tukar rupiah ini memang akan mengganggu iklim industri di Tanah Air. Menyebabkan gangguan rantai pasok karena biaya operasional perusahaan, seperti bahan baku, logistik, hingga transportasi menjadi tinggi.
“Kadin Indonesia mengimbau pemangku kepentingan terkait untuk berhati-hati terhadap dampak ini, terutama bagi pihak-pihak yang sangat bergantung pada nilai tukar, seperti importir dan pemegang utang dalam nominal dolar AS,” kata Arsjad.
Untuk menghadapi pelemahan rupiah terhadap dolar, dia bahkan telah mengimbau kepada dunia usaha untuk melakukan dua langkah antisipatif. Bagi para pemegang utang dalam dolar segera melakukan hedging valuta asing dan restrukturisasi utang jika diperlukan, serta mengkonversi utang dolar menjadi rupiah.
Selain itu, dalam menghadapi situasi ini, dunia usaha juga dia sarankan melakukan langkah antisipatif jangka pendek, seperti melakukan kalkulasi dalam mengurangi beban usaha dengan efisiensi, penundaan ekspansi atau investasi, hingga mencari bahan baku alternatif untuk mengurangi
ketergantungan.
“Kadin Indonesia juga mendorong seluruh pihak untuk bekerja sama dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi tantangan ini,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin, Koordinator Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek dan Inovasi, Carmelita Hartoto menegaskan, dengan potensi risiko itu, pemerintah saat ini memang sudah harus segera melalukan langkah-langkah menjinakkan tekanan terhadap kurs rupiah.
Pelemahan kurs rupiah saat ini akan membuat naiknya biaya produksi jika terjadi dalam waktu yang lama. Membuat daya saing melemah dan pelaku usaha ujungnya harus melakukan efisiensi di banyak lini.
“Kami sangat mengharapkan pemerintah untuk memberikan perhatian dan melakukan tindakan-tindakan untuk memperkuat nilai rupiah. Agar tidak terjadi kenaikan biaya produksi, pelemahan daya saing, dan daya beli masyarakat,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menganggap, dalam menjinakkan tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, pemerintah tidak hanya bisa mengandalkan kebijakan intervensi pasar keuangan saja, sebagaimana yang dilakukan Bank Indonesia (BI).
“Itu tidak akan cukup efektif menciptakan stabilitas nilai Rupiah. Pemerintah perlu fokus menciptakan stimulus peningkatan produktivitas real untuk penerimaan valas yang lebih besar melalui peningkatan kinerja ekspor dan FDI (Foreign Direct Investment),” tutur Shinta.