Prabowo Bakal Sulit Kejar Ekonomi 8%, Warga RI Kini Makin Susah

Share this article :
Facebook
Twitter
LinkedIn

Ambisi Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang menginginkan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 8% selama lima tahun masa kepemimpinannya akan sulit tercapai, bila permasalahan struktural ekonomi Indonesia tak dibenahi.

Karena permasalahan ini, selama dua periode Presiden Joko Widodo menjabat, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5%. Target Jokowi saat masa kampanye Pilpres pada 2014 silam pun tak pernah tergapai, yakni membuat ekonomi Indonesia tumbuh 7%.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan, stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5% dipicu oleh tak terjaganya daya beli masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah.

Sebagaimana diketahui, pada 2015 atau tahun pertama Jokowi efektif menjalankan roda pemerintahan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 4,8% secara tahunan atau year on year (yoy), melambat dibandingkan 5,02% pada 2014, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Pada 2016, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu kembali ke level 5,03%, lalu pada 2017 sebesar 5,07%, 2018 mencapai 5,17%, dan 2019 kembali ke level 5,02%. Pada 2020 atau saat merebaknya Pandemi Covid-19 ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07% .

Saat 2021, ekonomi Indonesia mulai kembali bergeliat dengan pertumbuhan sebesar 3,7%. Lalu, pada 2022 naik menjadi 5,31%, dan pada 2023 hanya mampu bergerak ke level 5,05%. Pada kuartal I-2024 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 5,11%.

Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas memang ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Hingga 2023, porsi konsumsi masyarakat terhadap laju pertumbuhan ekonomi mencapai 53,18%. Pada kuartal I-2024 bahkan porsinya membengkak menjadi 54,93%.

Pada 2020, ekonomi Indonesia luluh lantak karena Pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya sejak Krisis Moneter 1997, 1998, ekonomi Indonesia terkontraksi. Pembatasan mobilitas membuat angka pengangguran dan kemiskinan kembali naik.

Beralih ke 2022, pemulihan ekonomi Indonesia dan konsumsi rumah tangga menghadapi cobaan berat karena kenaikan harga BBM serta lonjakan harga bahan pangan akibat peperangan di berbagai negara dan munculnya fenomena pemanasan global. Diikuti munculnya kebijakan tren suku bunga acuan bank sentral yang tinggi hingga 2024.

Sampai tahun terakhir ia menjabat, berbagai permasalahan itu masih dihadapi Jokowi. Bahkan potensi tekanan daya beli masyarakat bertambah dengan munculnya berbagai kebijakan yang menekankan pendapatan masyarakat. Mulai dari adanya tambahan kebijakan potong gaji untuk iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) hingga rencana asuransi wajib kendaraan bermotor.

Di tengah berbagai rencana kebijakan yang menekan daya beli itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN), Bappenas sebetulnya mencatat 40 juta pekerja di Indonesia masih memiliki gaji di bawah Rp 5 juta. Jauh di bawah target pendapatan per kapita hingga akhir 2024 sebesar US$ 5.500 per tahun, atau setara Rp 7,45 juta per bulan.

Di sisi lain, saat rendahnya tingkat gaji masyarakat, inflasi bahan pangan juga semakin mengikis pendapatan bulanan mereka di penghujung tahun Jokowi menjabat.

Berita Populer

Berita Terbaru